bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Dokter dan Pasien)


         Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Hukum Perdata,suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Akan tetapi, Pasal 1338 ayat (3) Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidak seimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuain terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam kontrak tersebut. Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan saja harus ada pelaksanaan perjanjian, melainkan juga pada saat dibuatnya atau ditanda tanganinya perjanjian. Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap prakontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu. 
Syarat sahnya perjanjian didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagai berikut:
a)            Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich werbinden). Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Undang-Undang Hukum Perdata). Saat terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Undang-Undang Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Disini antara pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terpeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada massing-masing penderita.
b)            Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintesis aan te gaan). Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh Undang-Undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1329 Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, didalam Pasal 1330 Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampunan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan perjanjian terapeutik, pihak penerima  pelayanan medis, terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak dewasa, yang memerlukan, persetujuan dari pengampunanya, anak yang barada dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya. Di Indonesia ada berbagai peraturan yang menyebutkan batasan usia dewasa diantaranya:
1)      Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 dikatakan bahwa belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur genap 21 Tahun dan tidak / belum menikah. Berarti dewasa ialah telah berusia 21 Tahun atau telah menikah walaupun belum berusia 21 Tahun, bila perkawinannya pecah sebelum umur 21 Tahun tidak kembali dan keadaan belum dewasa.
2)      Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan, Pasal 47 ayat(1), menyatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 Tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak di cabut dari kekuasaannya. Ayat (2), menyatakan bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Kemudian Pasal 50 ayat (1), menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 Tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2), menyatakan bahwa perwalian ini mengenai pribadi anak maupun harta bendanya.
3)      Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XIV yang disebarluaskan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 juni 1991 tentang Pemeliharaan Anak Pasal 98 tercantum:
(a)   Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri / dewasa adalah 21 Tahun, sepanjang anak terseebut tidak bercacat fisik atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan (ayat 1).
(b)   Orang tua yang mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan (ayat 2).
(c)   Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat dekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu (ayat 3).
c)            Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp). Hal tertentu ini yang dapat dihubungkan dengan obyek perjanjian/ transaksi terapeutik ialah penyembuhan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin oleh dokter. Lagi pula melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya daya tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.
d)           Suatu sebab yang sah  ( geoorloofde oorzaak). Didalam Pasal 1337 Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh Undang-Undang, kesusilaan atau ketertiban umum.
Dalam pengertian ini, pada objek hukum yang terjadi pokok prjanjian tersebut harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum. Dengan perkataan lain objek hukum tersebut harus memiliki sebab yang diizinkan. Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1337 menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan, kesusilaan atau ketertiban umum.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com