Dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ada diatur agar debitor
terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah atau
akan berada dalam keadaan insolven dalam rangka merestrukturisasi
utang-utangnya sehingga debitor berkemungkinan untuk melanjutkan usahanya serta
dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang debitor kepada seluruh
kreditor. Yaitu dengan
mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang disingkat PKPU (atau Surseance
van Betaling menurut istilah Faillissementsverordening atau Suspension
of Payment menurut istilah dalam bahasa Inggris). PKPU diatur dalam Bab
ketiga Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tujuan pengajuan
PKPU menurut Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah untuk mengajukan
rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang
kepada kreditor.
Menurut Penjelasan Pasal 222 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, adalah Debitor yang tidak dapat atau
memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran
utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
Setelah PKPU diberikan, PKPU itu dapat
diakhiri baik atas permintaan hakim pengawas atau atas permohonan pengurus atau
atas permohonan satu atau lebih kreditor, atau atas prakarsa pengadilan sendiri
dalam hal-hai sebagai berikut:
- Debitor selama waktu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya (Pasal 255 ayat (1 a))
- Debitor telah atau mencoba merugikan para kreditornya (Pasal 255 ayat (1b)).
- Debitor melakukan pelanggaran selama penundaan kewajiban pembayaran utang berlangsung, debitor tanpa persetujuan pengurus melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Dan jika debitor melanggar ketentuan ini, pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitor tidak dirugikan karena tindakan debitor tersebut (Pasal 225 ayat (1c)) juncto Pasat 240 ayat (1).
- Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh para pengurus demi kepentingan harta debitor (Pasal 255 ayat (1d).
- Selama penundaan kewajiban pembayaran utang pada harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan kewajiban pembayaran utang (Pasal 255 ayat (1e)),
- Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap para kreditor pada waktunya (Pasal 255 ayat (1f)).
Dalam hal debitor beritikad buruk dalam
masa PKPU terhadap kepengurusan harta bendanya, sehingga demikian rupa harta si
debitor ternyata tidak mampu lagi memungkinkan dilanjutkannya PKPU, maka pengurus
wajib rnengajukan permohonan pengakhiran PKPU, namun tentunya debitor dan
pengurus harus didengar terlebih dahulu oleh pihak pengadilan, dan jika PKPU
ini diakhiri berdasarkan hal demikian, maka debitor harus dinyatakan pailit
dalam putusan yang lama.
Permohonan pengakhiran PKPU sebagaimana dimaksud
di atas harus selesai diperiksa oleh pengadilan dalam jangka waktu 10 hari dan putusan
pengadilan harus diucapkan dalam jangka waktu 10 hari sejak selesainya
pemeriksaan. Putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar
putusan tersebut. Disamping itu debitor setiap waktu dapat pula memohon kepada
pihak pengadilan agar Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dicabut
dengan alasan bahwa harta debitor memungkinkan dimulainya kembali pembayaran
utang-utangnya dengan ketentuan bahwa pengurus dan kreditor harus dipanggil dan
didengar sepatutnya sebelum putusan diucapkan.
Pada masa diberlakukannya ketentuan Faillisement
Verordening (FV)yakni pada Pasal 244 ayat (1), setiap waktu debitor berhak
memohonkan kepada pengadilan niaga agar PKPU dicabut dengan alasan bahwa
pada keadaan harta debitor sudah sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat
melakukan pembayaran-pembayaran lagi. Untuk keperluan itu, keterangan
para pengurus dan para kreditor akan didengar dan kepada mereka harus
dipanggil secara layak.
0 komentar:
Posting Komentar